The Raid: Redemption

Tiket The RaidDi tengah kepenatan saya sedang menyelesaikan laporan-laporan yang semakin menumpuk. Saya diingatkan oleh seorang teman yang juga sama-sama penggemar film untuk menyempatkan melihat film The Raid. Menurutnya, film ini patut disejajarkan dengan garapan film bergenre action produksi Hollywood.

“Ehhmm. Why not! Lagian empat hari ini saya telah berkutat dengan tumpukan laporan dan evaluasi kegiatan Schole Institute,” pikir saya.

“Ntar setelah nonton The Raid, saya akan buat reviewnya. Apakah seperti yang kau bilang film ini?” Tulis saya melalui microbloggingnya.

Ini bukanlah kali pertama saya melihat film garapan Gareth Huw Evans (penulis cerita sekaligus sutradara), bekerjasama dengan dua atlit pencak silat Indonesia, Iko Uwais dan Yayan Ruhiyan. Saya mengenal mereka bertiga melalui film MERANTAU tahun 2009 lalu dan cukup puas dengan ide cerita dan sinematografi yang disuguhkan Gareth.

Alih-alih memilih judul film “Serbuan Maut” yang lebih Indonesia, Gareth menggunakan The Raid. Rupanya pemilihan judul ini sangat diperhitungkan oleh sutradara kelahiran Welsh ini. Namun dikarenakan rencana trilogi dan ketika akan dipasarkan di Amerika judul ini terkena copyright sehingga ditambahkan menjadi, The Raid: Redemption.

Sejatinya, setelah memproduksi Merantau, Gareth ingin membuat sekuel dengan judul Berandal. Dan masih menggunakan Iko Uwais sebagai pemeran utama. Terkendala dengan biaya, Gareth pun tidak ingin tergesa-gesa. Lalu memberi solusi kepada para investor untuk membuat film lain yang berbeda yang hanya menelan sedikit biaya dibandingkan Berandal.

Rupanya, Gareth tidak main-main. Ia mampu membuktikan kepada para investor bahwasannya The Raid layak untuk diproduksi dengan menyabet perhatian para kritikus film hollywood. Meski secara nominal belum mencapai titik impas, antusiasme dunia akan perfilman Indonesia semakin terpupuk. Sebut saja, Sony Picture merebut distribusi pemasaran di Amerika dan mengutus Mike Shinoda dari Linkin Park dan Joshep Trapannese untuk membuat ulang musik score The Raid. Australia, India, China, Jepang, Kanada, Inggris dan Jerman pun telah membeli ijin distribusi setelah screening di Toronto International Film Festival, 8 September 2011.

Kabarnya lagi, Screen Gems pun telah meminang Gareth untuk membuat remake The Raid versi Hollywood dan meminta koreografer silat juga terlibat dalam remake tersebut. Sebuah apresiasi yang besar bagi industri film Indonesia karena telah mampu menerobos pasar hollywood.

Plot cerita:

SWAT ingin menerobos masuk ke jantung pertahanan para penjahat yang berkumpul dalam sebuah apartemen dan menyeret Tama ( Ray Sahetapy) untuk dipenjarakan. Tim SWAT ini dikomandoi oleh Sersan Jaka (Joe Taslim, atlit Judo) bersama Letnan Wahyu (Pierre Gruno) melakukan penyergapan secara diam-diam.

Rencana ‘silent mission’ akhirnya tidak dapat diteruskan semenjak salah satu anak buah Tama mendapati mereka telah masuk ke dalam apartemen. Tama memerintahkan MadDog (Yayan Ruhian, atlit silat) dan Andi (Donny Alamsyah) untuk  menutup semua pintu, mematikan lampu, komunikasi dan meminta seluruh penghuni apartemen untuk membantai anggota SWAT tersebut. Terjebak di lantai 6, satu-satunya cara untuk keluar hidup-hidup adalah dengan melawan.

Kira-kira begitulah plot cerita film ini. Saya tidak ingin memberikan spoiler bagi pembaca yang belum melihat film ini. Namun ketika ditanya bagaimana aksi laganya? Saya acungi dua jempol. Sepanjang film, kita akan disuguhi aksi beladiri silat menggunakan tangan kosong, pisau, parang, tangan kosong hingga senjata api. Yayan Ruhian (aktor sekaligus koregorafer laga) mampu menyuguhkan adegan laga yang sangat apik.

Gareth sangat lihai meletakkan posisi kamera Panasonic AF100, ketika memperlihatkan pertarungan di ruang yang sangat terbatas. Selain itu, Gareth mengirimkan seluruh pemain untuk berlatih dengan KOPASKA agar tidak canggung dalam menggunakan senjata api dan teknik-teknik perang kota.

Film ini termasuk dalam rating R (brutal, dan penggunaan kata-kata kotor). Penonton akan disuguhi darah yang mengucur akibat luka tusukkan, gigi rompal, kepala dibenturkan ke tembok, leher digorok hingga tembakan. Dan bagi saya, hal ini masih dalam tataran wajar dibandingkan dengan film gore buatan hollywood.

Ada satu kekurangan dari film ini menurut saya yaitu, penataan dialog para aktor. Kecuali Ray Sahetapy dan Pierre Gruno, yang memang dapat menghidupkan dialog dari tokoh yang diperankannya. Para aktor terkesan kaku dan seperti sedang membaca script. Kalau penjiwaan menjadi anggota SWAT dan peran laga sangat bagus sekali.

Saya berharap Berandal sebagai sekuel atau juga dikenal dengan judul The Raid: Retaliation, tidak hanya sekedar menyuguhkan aksi laga saja namun mengatur dialog dan plot cerita lebih serius. Sebagai film laga, saya sangat puasa dengan The Raid: Redemption ini. Maju terus sineas Indonesia. Jangan melulu terjebak dalam genre film horror ataupun drama.

Foto:

  1. Koleksi pribadi.
  2. Movie Poster (update file not found, edisi baru)

Sumber: